Sabtu, 15 Juni 2024

AKTUALISASI NILAI-NILAI IBADAH QURBAN

Allahu Akbar  Allahu Akbar  Allahu Akbar wa Lillahil hamd

Hadirin jama’ah sholat Ied rahimakumullah.

Hari raya Idul Adha mengingatkan kita akan sejarah pengorbanan dan kepasrahan yang sesungguhnya dari anak manusia kepada Tuhan pencipta alam, Allah SWT.

Karena itu sudah sepatutnya kita mengingat kembali perjalanan  tiga sosok anak manusia sebagai pemain utama dalam ibadah qurban dan haji ; nabi Ibrahim AS, nabi Isma’il  AS dan ibunda beliau siti  Hajar AS. Sebagian perjalanan hidup mereka telah terekam dan didokumentasikan dalam sejarah bahkan menjadi ritualitas ibadah  haji dan qurban.

Dalam suasana hari raya Idul qurban, sangatlah tepat bila merefleksikan dan melakukan napak tilas atas sebagian kehidupan mereka, dan  tak sekedar memaknainya sebagai ritualitas belaka (ibadah mahdah), tetapi  juga diletakkan dalam konteks peneguhan nilai-nilai kemanusiaan dan spirit keadilan, sebagaimana pesan tekstual agama.

Idul Adha juga merupakan refleksi  atas catatan sejarah perjalanan kebajikan manusia masa lampau, untuk mengenang perjuangan monoteistik (tauhid) dan humanistik (kemanusiaan) yang ditorehkan oleh nabi Ibrahim AS. Bahkan keteladanan yang patut digarisbawahi, bahwa beliau mampu mentransformasikan pesan keagamaan ke aksi nyata perjuangan kemanusiaan.

Allahu Akbar  Allahu Akbar   Allahu Akbar wa Lillahil hamd

Ma’asyirol muslimin rohimakumullah

Sebenarnya pengorbanan dan kepasrahan tidak hanya dilakukan oleh nabi Ibrahim AS, bahkan hampir seluruh nabi menerima ujian dan cobaan disertai dengan kepasrahan yang tulus kepada Allah SWT. Kita membaca dalam sejarah, nabi Ya’kubAS –yang sudah tua renta- harus terpaksa merelakan kepergian anak tersayangnya -nabi Yusuf AS- yang direkayasa secara sistematis untuk dibunuh oleh saudara-saudara kandungnya sendiri.

Ibunda nabi Musa AS pun harus memasrahkan diri berpisah dari anaknya yang baru dilahirkan. Dia menghindari kedzaliman besar yang dilakukan Fir’aun yang akan membunuh semua bayi laki-laki yang lahir saat itu termasuk nabi Musa AS yang baru terlahir ke dunia. Ibu mana yang  tega menyaksikan anaknya terbunuh. Karenanya dengan pengorbanan yang besar, ia menghanyutkan puteranya yang masih merah di aliran sungai Nil.

Allahu Akbar  Allahu Akbar  Allahu Akbar wa Lillahil hamd

Ma’asyirol muslimin rohimakumullah

Dalam agama Islam, kurban tidak berawal dari mitos, sebagaimana pengorbanan agama-agama dan kepercayaan masa lalu. Dalam Islam, kurban adalah wujud kepasrahan total, pengabdian dan kesalehan hamba. Karena itu kisah Ibrahim AS yang  dipilih sebagai bentuk pengorbanan yang sesungguhnya menurut Islam. Allah berfirman  dalam QS.Ash Shaffat/37 : 102

فلما بلغ معه السعي قال يبني اني ارى في المنام أني أدبحك فانظر مادا ترى قال يأبت افعل ما تؤمر ستجدني ان شاء الله من الصبرين

Artinya :  Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".

Nabi Ibrahim AS yang menerima perintah melalui mimpi selama tiga malam berturut-turut untuk menyembelih anak dan buah hatinya, tak disangka malah ditantang oleh anaknya : “saya siap, insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”.

Beberapa nilai yang dikemukakan dalam merayakan hari Idul Kurban di antaranya ;

Pertama, Konsisten terhadap pengamalam ajaran Islam

Tidak dapat kita bayangkan betapa goncangnya jiwa nabi Ibrahim AS ketika menerima wahyu itu. Ia mengalami konflik di dalam bathinnya. Siapakah yang lebih disayangi Ismail atau Allah? Ego atau super-ego? Kesenangan atau keyakinan ?

Kepatuhannya benar-benar diuji di puncak kesempurnaan kenabiannya melalui ujian yang ternyata lebih sulit dari pada semua perjuangannya yang terdahulu. Bila gagal menempuh ujian tersebut, maka kegagalannya ibarat kejatuhan dari puncak tertinggi, padahal kejatuhan dari puncak yang paling tinggi adalah kejatuhan yang paling mencelakakan dan paling menyedihkan. Dan ternyata nabi Ibrahim AS, juga  nabi Ismail AS telah melam\paui ujian tersebut dengan gemilang.

Maka siapapun yang berada pada titik puncak, puncak popularitas, puncak karir  ataupun puncak jabatan yang mengabaikan nilai-nilai pengorbanan dan mengedepankan ego dan keserakahannya, maka Allah akan menjatuhkannya ke tempat yang serendah-rendahnya. (QS.At Tin/95:5)

ثُمَّ رَدَدۡنَٰهُ أَسۡفَلَ سَٰفِلِينَ

Allahu Akbar 3x wa Lillahil Hamd

Kedua, Penghormatan atas Eksistensi Manusia

Kisah nabi Ibrahim AS yang hendak mengorbankan anaknya selain bentuk kepasrahan dan pengabdian total, juga bentuk pengajaran dalam bentuk kritik Allah SWT terhadap pengorbanan yang berdasarkan mitos. Nabi Ibrahim AS yang hidup pada pertengahan abad ke-18 SM, berada pada persimpangan pemikiran kemanusiaan tentang pengurbanan yang masih berwujud manusia. Ada sebagian yang masih menyetujui praktik jahiliyah tersebut, sebagian lagi menyatakan bahwa manusia terlalu tinggi  dan mulia untuk dikorbankan.

Bangsa-bangsa dan umat umat terdahulu telah mempraktekkan pengorbanan manusia kepada dewa-dewa sesembahannya. Tercatat dalam sejarah, di Mesir hampir setiap tahunnya, wanita-wanita cantik dikorbankan kepada dewi penjaga Sungai Nil. Di Kana’an/Irak, bayi-bayi yang tak berdosa dikorbankan sebagai sesembahan kepada dewa Baal. Suku Aztek di Meksiko, mereka menyerahkan jantung dan darah manusia yang diperuntukkan kepada dewa Matahari. Bangsa Eropapun dengan suku Vikingnya di Skandinavia, mengorbankan pemuka-pemuka agama mereka untuk dewa perang Odin.

Ajaran kurban dilakukan oleh nabi Ibrahim AS, telah memberikan jalan keluar yang memuaskan semua pihak. Ia diperintahkan menyembelih anaknya sebagai isyarat bahwa anak yang tercinta, belahan jiwa yang paling yang paling berharga bagi seseorang, bukanlah sesuatu yang berarti dan berharga jika Allah telah memintanya. Namun demikian, bukan manusia yang dikurbankan, karena Allah begitu cinta dan meninggikan derajat manusia. Sekaligus hal ini merupakan kritikan terhadap perilaku mengorbankan nyawa manusia.

Pengorbanan yang diperlihatkan oleh nabi Ibrahim As adalah ajakan Allah untuk melakukan pengorbanan yang humanis; sebuah pengorbanan yang tidak hanya berhubungan dengan Allah sang pencipta, tetapi juga membawa manfaat kepada manusia, bukan malah membinasakan manusia dengan alasan apapun. Kedatangan malaikat yang membawa seekor kambing sebagai ganti atas nabi Isma’il AS, jelas menegasikan bentuk pengorbanan manusia yang sudah mengakar pada saat itu.

Allahu Akbar  Allahu Akbar  Allahu Akbar wa Lillahil hamd

Hadirin Jama’ah Sholat Ied yang berbahagia

 Bisa jadi perintah Allah kepada nabi Ibrahim AS untuk mengorbankan anaknya bukan perintah yang “serius”. Allah sekedar ingin menguji kepasrahan nabi Ibrahim AS dengan mengorbankan anaknya yang diidam-idamkannya selama sekian tahun. Karena itu para mufassirin ketika menafsirkan kisah ini menukilkan sebuah riwayat yang menyatakan ;

 فَأَوْحَى اللّهُ إِلَيْهِ: يَا إِبْرَاهِيْمَ لَمْ يَكُنِ اْلمُرَادُ ذَبْحَ اْلوَلَدِ، وَإِنَّمَا اْلمُرِادُ أَنْ تَرُدَّ قَلْبَكَ إِلَيْنَا، فَلَمَّا رَدَدْتَ قَلْبَكَ لِكُلِّيَّتِهِ إِلَيْنَا رَدَدْنَا وَلَدَكَ إِلَيْكَ.

Kemudian Allah mewahyukan kepada nabi Ibrahim : ”Hai Ibrahim, bukanlah maksudnya menyembelih anak, melainkan yang dimaksud kamu mengembalikan perhatian kamu sepenuhnya kepada Kami. Maka tatkala perhatian dan hatimu sudah sepenuhnya kembali kepada Kami, Kami kembalikan anakmu padamu.

Hadirin Jama’ah Sholat Ied yang berbahagia

 Maka berdasarkan pesan ini dapat ditangkap, bahwa Allah tidak pernah menginginkan daging dan darah, Allah tidak pernah meminta sesajen daging kurban, berkurban bukan pada seberapa besar hewan yang disembelih, tetapi pra-syaratnya yaitu ketaqwaan dan kepasrahannya kepada Allah SWT.

لن ينال الله لحومها ولا دمائها ولكن يناله التقوى منكم

Artinya : Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Hajj/22 ; 37)

Allahu Akbar  Allahu Akbar  Allahu Akbar wa Lillahil hamd

Ma’asyirol muslimin rohimakumullah

 Ketiga; Memahami dan mempunyai Konep Hidup

Keberhasilan Ibrahim dan Ismail yang gemilang ini sesungguhnya tidak terlepas dari kesadaran akan makna suatu penyerahan diri dengan menyelami sangat dalam makna dari Innalillahi wa Inna ilaihi rajiun  “sesungguhnya kita ini adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali”.

Dengan memahami makna “Innalillah” nabi Ibrahim AS menyadari bahwa walau Ismail ini adalah puteranya yang sangat ia cintai, ia tidak lebih dari hanya suatu titipan dari Allah dan bukan miliknya. Sementara itu, nabi Ismail AS menyadari pula bahwa ia tidak pernah memiliki dirinya sendiri serta apapun yang lain dalam kehidupannya. Ia tidak pernah merancang bahkan juga tidak berniat untuk lahir dan menjadi seorang anak manusia, termasuk menjadi putera Ibrahim. Ia ada karena Allah Swt, yang memungkinkan dan mengizinkannya untuk ada. Dalam pemahaman yang demikian, berarti pengurbanan yang dilakukan oleh nabi Ibrahim AS dan nabi Ismail AS, hanyalah bersifat pengembalian hak Allah kepada Allah,  sebagai  aktualisasi  atas  kesadaran  mereka berdua   akan  makna Innalillahi wa Inna ilaihi rajiun  (sesungguhnya kepada-Nya lah kita akan kembali).

Dengan demikian tidak ada sesuatupun yang hilang dari keduanya, karena memang asalnya mereka tidak memiliki apapun juga tidak terhadap dirinya sendiri.

Dari pemahaman di atas, berqurban berarti menyerahkan atau menyampaikan sesuatu yang sementara merupakan milik kita kepada sang Pemberi Allah SWT, yang memang berhak atas sesuatu itu .

Untuk itulah, ketika nabi Ibrahim AS menyembelih nabi Ismail AS, dan Ismail merelakan nyawanya, tidaklah berarti nabi Ibrahim AS mengorbankan anaknya, dan nabi Ismail AS bukan mengorbankan hidupnya, akan tetapi keduanya mengembalikan hak Allah kepada Allah.

Pengembalian hak itu ditempuh nabi Ibrahim AS dengan cara melepaskan, menaklukkan dan memusnahkan kepentingan pribadinya, yaitu rasa memiliki anaknya, sementara Ismail as. menempuh dengan cara menaklukkan rasa memiliki diri sendiri.

Allahu Akbar 3x Wa lillahil Hamd

Maka dalam konteks kekininian, setiap kita adalah Ibrahim, dan setiap Ibrahim mempunyai Isma’il. Isma’il kita mungkin harta kita, gelar kita, jabatan kita atau segala sesuatu  yang kita sayangi dan kita pertahankan. Kita tidak dilarang untuk mendapatkan harta, gelar, jabatan, atau apaupun yang kita senangi yang kita jadikan sebagai Isma’il kita. Sebagaimana nabi Ibrahim AS berdasarkan riwayat di atas tidak diperintahkan untuk membunuh Isma’il. Tetapi kita hanya diperintahkan untuk membunuh rasa kepemilikan kita terhadap “isma’il-isma’il” kita yang hakekat semuanya milik Allah SWT.

Hal penting lain yang perlu dikontekstualisasikan adalah konsep “kepemilikan” anak saat ini sangat perlu diimplementasikan di tengah hiruk pikuk budaya masyarakat yang semakin tidak jelas. Ketika nabi Ibrahim dan istrinya Siti Hajar AS mengorbankan anak terkasihnya yang diidam-idamkan selama hidupnya, orang tua zaman sekarang sedikit merasa memiliki kepada anak-anaknya. Mereka hanya memiliki anak mereka secara fisik, tetapi sedikit orang tua yang peduli akan perilaku dan akhlaq anaknya. Mereka merasa sudah merasa cukup dengan menitipkan anak-anaknya di sekolah . Seolah-olah mereka melemparkan tanggung jawab pendidikan kepada sekolah. Orang tua zaman sekarang menganggap sekolahlah yang bertanggung jawab penuh pada perubahan perilaku dan sikap anak.

Padahal tanggung jawab utama mendidik anak ada pada orang tua, sekolah hanya membantu keterbatasan yang dimiliki oleh orang tua. Anak-anak di sekolahpun tidak lebih dari 5-7 jam. Selebihnya anak-anak ada pada lingkungan keluarganya.

Maka kerjasama orang tua dan sekolah, serta penguatan nilai-nilai spiritual dan pendidikan patut dilakukan secara berkesinambungan. Pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi pendidikan harus diciptakan di manapun. Maka kewajiban mendidik bukan hanya kewajiban para guru, tetapi juga merupakan kewajiban utama orang tua.

Semangat berkurban saat kita merayakan hari raya kurban ini, sesmestinya tidak sekedar menjadi slogan belaka. Implementasi dan tekad mau berkurban harus dapat diwujudkan dalam kehidupan kita di alam dunia. Karena memang dalam mangarungi kehidupan ini, dengan status dan profesi apapun, membutuhkan pengorbanan. Maka siapa saja yang tidak mau berkurban pasti akan menjadi kurban.

Orang tua mau mengorbankan, tenaga, harta dan cinta kasihnya kepada anak-anaknya untuk mendidik mereka. Keengganan orang tua untuk mengorbankan kepada anak-anaknya bisa jadi anak akan mengorbankan orang tuanya. Na’udzubillah...

Seorang anak mau mengorbankan waktunya semata-mata untuk dimaksimalkan pada hal-hal yang bermanfaat.

Seorang pejabat mau mengorbankan keinginan nafsunya dan tidak menurutinya sebagai sebuah amanah.....

Allahu Akbar  Allahu Akbar  Allahu Akbar wa Lillahil hamd

Ma’asyirol muslimin rohimakumullah

Demikian khutbah ini disampaikan, semoga kita dapat mengambil hikmah dan menerpkan nilai-nilai pengorbanan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nabi Ibrahim AS, nabi Isma’il AS dan ibundanya siti Hajar AS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEYAKINAN

13 Ramadhan 1446 H   Pada Kisah yang ke-25 dalam kitab  An Nawadir  Imam Qalyubi mengisahkan bahwa ada sekawanan penjahat yang tengah me...