Sahabat….
Pastinya sahabat selalu ingin memperbaiki dan meningkatan kualitas
aktifitasnya bukan ?
Sejatinya kita menyadari bahwa perbaikaan dan peningkatan dari
waktu ke waktu merupakan prestasi dan tidak ada yang berkeinginan stagnan dan
statis.
Termasuk ibadah puasa yang sudah kita jalani selama 10 hari
ini mestinya ada perbaikan dan peningkatan
dari tahun-tahun sebelumnya.
Pada kualitas mana kita berpuasa pada tahun ini? Ada baiknya kita
merefresh tentang pembagian puasa oleh Imam Ghozali, yaitu : Puasa umum (awam)
lebih kepada puasa lahiriyah yaitu menahan perut, dan kemaluan dari semua yang
diinginkan. Puasa istimewa (khawash) adalah menahan pendengaran, pengelihatan,
lidah, tangan, kaki, dan anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Dan puasa
paling istimewa (khawashul khawash) yaitu puasa hati dari keinginan yang
hina, pikiran duniawi, dan mengekang hati untuk berfikir dari segala sesuatu
selain Allah SWT secara total. Tingkatan puasa yang ketiga ini akan batal dengan
memikirkan segala sesuatu selain Allah, baik itu memikirkan hari akhir maupun
memikirkan urusan dunia. Namun berpikir tentang urusan dunia yang bertujuan
untuk menegakkan agama Allah tidak termasuk memikirkan dunia.
Mungkin kebanyakan kita masih pada puasa umum/awam dan rasanya
tidak banyak yang sudah pada level puasa paling istimewa (khawasil khowas),
karena tingkatan puasa seperti ini adalah cara puasa para Nabi, orang-orang yang jujur (shiddiqin), dan
orang-orang yang dekat pada Allah (muqarrabin). Paling tidak kita berupaya dan
konsentrasi meng-upgrade di puasa kali ini ke level puasa puasa istimewa
(khowas).
Puasa Istimewa adalah
puasanya orang-orang saleh, yaitu dengan cara menahan semua anggota badan dari
perbuatan dosa. Kesempurnaan puasa pada tingkatan ini harus melakukan enam hal:
Pertama, menundukkan dan menahan pandangan
pada semua hal yang tercela dan dibenci. Imam Anas meriwayatkan sabda Rasulullah
SAW :
اَلنَّظْرَةُ سَهْم مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ اِبْلِيْسَ لَعَنَهُ
اللهُ فَمَنْ تَرَكَهَا خَوْفًا مِنَ اللهِ آتَاهُ اللهُ عَزَّوَ جَلَّ اِيْمَانًا
يَجِدُ حَلَاوَتَهُ
Artinya : “Sebuah pandangan adalah satu panah beracun di antara
panah-panah Iblis yang dilaknat oleh Allah. Barang siapa yang meninggalkannya
karena takut kepada Allah, niscaya Allah akan menganugrahkan manisnya iman yang
akan dirasakan nikmatnya dalam hati”. (HR. Hakim)
Kedua, menjaga lisan
dari perkataan yang hina, sia-sia, dusta, dsb. Dalam kontek kekinian termasuk hate
comment, bullying dan gossip di medsos. Selayaknya lisan diam dan hanya
sibuk berzikir kepada Allah, tadarus al Qur’an. Menjaga dan mengaktifkan lisan
seperti inilah yang disebut dengan puasa lisan. Dalam hadits riwayat imam
Bukhari Rasulullah SAW mengingatkan :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ، وَالْعَمَلَ بِهِ،
فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Artinya: “Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dan
perilaku kotor, maka tidak ada kepentingan bagi Allah atas amalnya meninggalkan
makanan atau minuman.” (HR Al-Bukhari).
Lisan yang tidak terjaga dalam betuk apapun berakibat
pada tidak bernilainya puasa seseorang. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
ghibah dan sejenisnya dapat membatalkan puasa yang wajib di-qadha.
Wallahu A’lam
Jakarta, 11 Ramadhan 1445 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar