12 Ramadhan 1446 H
Kisah orang kaya yang mencela harata benda diduga menjadi sebab dia lalai kepada Tuhannya sampai didatangi malaikat maut sepatutnya menjadi pelajaran bagi siapapun
untuk tidak terlena atas keni’matan apapun yang Allah anugerahkan kepadanya.
Anak, harta, jabatan, kepandaian, kecantikan atau ketampanan seeringkali
menjadi sebab lalai kepada Sang Pemberi ni’mat. Allah sudah mengingatkan agar
manusia tidak dilengahkan oleh harta dan keturunan. Bahkan para nabi-pun tidak
sedikit yang diberikan harta kekayaan yang berlimpah, namun tidak menyebabkan kekayaannya
menjadikan para nabi itu lalai kepada Allah SWT.
Tentu saja dalam Islam, harta dipandang sebagai amanah
(kepercayaan) dari Allah SWT yang harus digunakan dengan bijak dan bertanggung
jawab.
Secara garis besar, harta dan kekayaan dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk terus bertahan hidup dengan gaya hidup yang ada, tanpa harus
bekerja. namun, sebenarnya kaya itu relatif. Ada orang yang tetap dapat
bertahan hidup setelah berhenti bekerja.
Sebagian besar kondisi tersebut didukung kekuatan finansial yang
datang dari pendapatan pasif atau passive income yang diperoleh dari investasi,
akan tetapi ada pula orang-orang berpenghasilan tinggi yang tetap merasa tidak
kaya sebab gaya hidupnya mempengaruhi cara mereka menggunakan kekayaannya.
Tidak ada yang salah dengan keinginan untuk menjadi kaya dan
berlimpah harta. Bahkan mencari kekayaan disyariatkan dalam Islam karena itu
berarti mencari rezeki dan berusaha di dunia sebagaimana yang dicantumkan dalam
banyak ayat di Al-Qur’an, seperti: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi ; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Ahzab:
10).
Di ayat lain, QS. Al Mulk: 15 juga disebutkan, “Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebagian dari rezeki-Nya.”
Dari ayat-ayat tersebut, Ibnu Katsir, menafsirkan maksudnya, yaitu
berpergianlah kalian ke tempat-tempat di bumi yang kalian kehendaki,
lintasilah daerah-daerah dan pelosok-pelosoknya untuk mendapatkan berbagai
macam penghasilan dan berdagang.
Berikut ini beberapa hukum mengenai
kekayaan menurut agama Islam:
Wajib – jika usaha manusia itu dilakukan untuk
memperoleh pendapatan memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya serta
mencukupkannya dari meminta-minta.
Sunnah – jika usaha manusia itu dilakukan untuk
memberikan tambahan nafkahnya dan nafkah keluarganya atau untuk tujuan
melapangkan orang-orang fakir, menyambung silaturahim, memberi balasan atau
hadiah pada kaum kerabat, dan mencari kekayaan dengan niat seperti ini lebih
utama daripada menghabiskan waktu untuk beribadah.
Mubah (diperbolehkan) – jika untuk memberikan
tambahan dari kebutuhan atau dengan tujuan berhias dan menikmati.
Makruh – jika tujuannya mengumpulkan harta agar
bisa berbangga-banggaan, sombong, bermegah-megahan, bersenang-senang hingga
melewati batas walaupun dicari dengan cara yang halal. Hal ini sejalan dengan
sabda Rasullullah saw, “Barang siapa yang mencari dunia yang halal untuk
bermegah-megahan, berbangga-banggaan, dan riya maka ia akan bertemu dengan
Allah SWT sedangkan Allah murka kepadanya.”
Haram – jika dicari dengan cara yang haram
seperti suap, riba dan lainnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam al Mausu’ah
Al Fiqhiyah.
Harta adalah titipan dari Allah swt sehingga semua pihak yang
diberi titipan harta kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, sesuai sabda Rasulullah Sallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ
أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ
وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيْهِ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ
وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ (رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالتِّرْمِذِيُّ)
"Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak dari tempat
hisabnya pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai 4 hal: (1) umurnya, untuk
apakah ia habiskan, (2) jasadnya, untuk apakah ia gunakan, (3) ilmunya, apakah
telah ia amalkan, (4) hartanya, dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia
belanjakan." (HR Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi).
Allah swt sebagai pemilik hakiki harta memberikan petunjuk
penggunaan agar harta titipan tersebut dapat memberikan manfaat panjang kepada
manusia sebagai bekal kehidupannya kelak di akhirat. Allah swt melarang
seseorang bersikap boros dan bakhil. “Dan orang-orang yang apabila
mentasyarrufkan harta tidak berlebihan, dan tidak (pula) bakhil yaitu perilaku
mentasyarrufkan harta secara seimbang di antara keduanya.” QS. al-Furqan
(25: 67).
Islam melarang pemeluknya bermegah-megahan. Kemegahan yang
dipertontokan orang kaya memicu semakin lebarnya kesenjangan antara si miskin
dan si kaya yang dapat menimbulkan kecemburuan, berpotensi terjadinya konflik
dan mengundang perbuatan jahat. Dalam harta seseorang pada hakikatnya terdapat
hak orang lain, oleh karena itu manusia yang telah diberi titipan harta tidak
dibenarkan mempergunakan semua hartanya untuk kepentingan pribadinya. Islam
melarang seorang muslim untuk berperilaku kikir dalam mempergunakan harta.
Allah swt Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan bila diserukan
kepada mereka: "Infakkanlah sebagian dari rejeki yang telah Allah berikan
kepadamu", Maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang
beriman: "Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-orang yang jika
Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, kamu benar- benar dalam
kesesatan yang nyata” QS. Yasin (36: 47). Dalam ayat yang lain Allah swt
berfirman “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya. Karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal.” QS.
al-Isra’ (17: 29).
Rasululah Sallahu ‘Alaihi Wa Sallam
mengingatkan walau secara fisik harta terlihat berkurang dengan disedekahkan
namun hakekatnya tidak berkurang, justru sebaliknya bertambah baik jumlahnya
dengan dimudahkan rejeki dan dijauhkan dari musibah, mauapun nilainya dimata
Allah Subhanawu Wa Ta’la dengan diberikan keberkahan. Dari uraian diatas dapat
dipahami bahwa Islam mendorong penganutnya untuk berjuang bukan hanya dalam
mendapatkan harta dengan berbagai cara dengan mengikuti rambu-rambu yang telah
ditetapkan, tetapi juga dalam menggunakannya mesti dalam lingkaran aturan yang
telah ditetapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar