Minggu, 31 Maret 2024

ISYARAT ILMIAH AL QUR'AN

 

Sahabat…

Pernahkah anda diajak bahkan diarahkan untuk berfikir? Maka sesungguhnya ajakan berfikir itu sangat kental dengan ajaran Islam. Melalui kitab suci al Qur’an, sejumlah ayat menyirat dan menyuratkan untuk berfikir. Sehingga dari ide dan gagasan sebagai olah pikir menghasilkan teori dan bangunan ilmu pengetahuan.

Al Qur’an sebagaimana ditegaskan Prof. Quraish Shihab, bukanlah kitab ilmiah sebagamana halnya kitab-kitab ilmiah yang dikenal selama ini. Bahkan pertanyaan-pertanyaan tidak dijawab al Qur’an dengan  jawaban ilmiah jusru diarahkan kepada upaya memahami hikmah di balik kenyataan itu.

Karenanya al Qur’an diturunkan tidak hanya untuk umat Islam melainkan untuk seluruh umat manusia sebagai pedoman dan petunjuk dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, tidak dengan tangan kosong, tetapi dengan diberikan bekal yang cukup berupa indera dan akal sehingga dapat memahami tanda-tanda kebesaran Allah melalui isyarat ilmiah yang tersurat dan tersirat dalam al Qur’an sebagaimana firman Allah dalam Q.S Fushshilat/41: 53.

Tentu saja  fungsi utama al Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia baik hubungannya dengan Tuhan, manusia, maupun alam raya. Dengan begitu, yang dipaparkan al Quran tidak hanya masalah-maslah kepercayaan (akidah), hukum, ataupun pesan-pesan moral, tetapi di dalamnya terdapat petunjuk memahami rahasia-rahasia alam raya yang  merupakan isyarat ilmiah.

Isyarat-isyarat ilmiah dalam Al-Qur’an pada dasarnya adalah ibarat pertanyaan-pertanyaan “ilmiah” yang diajukan Allah agar manusia menggunakan akalnya untuk menjelajah sehingga menimbulkan teori dan kemajuan ilmu pengetahuan. Karena lebih cenderung memuat isyarat ilmiah maka al Qur’an mengandung prinsip-prinsip umum, artinya seseorang dapat menurunkan seluruh pengetahuan tentang perkembangan fisik dan spiritual manusia yang ingin diketahuinya dengan bantuan prinsip-prinsip tersebut. Dan kewajiban ilmuwan adalah menjelaskan rincian-rincian yang diketahui pada masanya kepada masyarakat.

Dalam sejarahnya belum pernah ada agama yang  menaruh perhatian  sangat besar dan lebih mulia terhadap ilmu kecuali Islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan agama yang lain adalah perhatiannya kepada ilmu dan ilmuwan. Agama Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya untuk senantiasa mencari dan menggali ilmu. Oleh karena itu ilmuwan pun mendapatka perlakuan yang lebih dari Islam, yang berupa kehormatan dan kemuliaan. al-Qur’an dan as-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta menempatkan mereka pada posisi yang luhur.

Wallahu A’lam

Jakarta, 21 Ramadahan 1445 H

Sabtu, 30 Maret 2024

KEINDAHAN BAHASA AL QUR'AN

Sahabat...

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT ketika bangsa Arab berada di puncak yang sangat tinggi dalam bidang bahasa dan sastranya, bahasa yang indah dengan berbagai norma yang ada, membuat bangsa Arab sangat membangga-banggakan bahasa dan karya sastra mereka. Kemukjizatan al-Qur’an memang tidak lain adalah untuk menundukkan kesombongan bangsa Arab atas bahasa yang mereka miliki, seakan- akan tidak ada bahasa dan karya sastra yang melebihi karya mereka dari sisi keindahannya. Oleh karena itu, al-Qur’an turun sebagai mukjizat dengan bahasa yang sangat istimewa mengalahkan keistimewaaan bahasa dan sastra Arab pada masa itu.

Ketika walid bin Mughirah seorang tokoh quraisy yang juga sastrawan diutus untuk merayu nabi Muhammad SAW agar meningggalkan da’wahnya,, dia tidak bisa berkata apa-apa ketika Rasulullah SAW membacakan QS.  Fushillat/41 : 1-5. Bahkan hatinya tertarik  dan terpesona dengan keindahan Bahasa al Qur’an, sebagaimana diungkapkan oleh prof.  Quraisy Syihab bahwa Bahasa al Qur’an memuaskan akal dan jiwa. Itulah yang dialami oleh Walid bin Mughirah.

Tetapi  harapan masyarakat kepada Walid begitu sangat tinggi. Sayangnya mereka kecewa karena Walid keluar dengan wajah bermuram durja yang menunjukkan kegagalan diplomasi dan misinya.  Bahkan ada yang menduga bila Walid telah berkhianat. Walid bin Mughirah-pun menjawab :

فَوَاللهِ!  مَا فِيْكُمْ رَجُلٌ أَعْلَمُ بِالأَشْعَارِ مِنِّي، وَلَا أَعْلَمُ بِرَجْزٍ وَلَا بِقَصِيْدَةٍ مِنِّي، وَلًا بِأَشْعَارِ الْجِنَّ، وَاللهِ!  مَا يُشْبِهُ الذي يَقُوْلُ شَيْئًا مِنْ هَذَا، وَوَاللهِ!  إِنَّ لَقَولُهُ الذي يَقُوْلُ حَلَاوَةً، وإِنَّ عَليْهِ لَطَلاَوَةً، وإنَّهُ لَمُثمِرٌ أَعْلَاهُ مُغْدِقٌ أَسْفَلُهُ، وإنَّهُ لَيَعْلُو وَمَا يُعْلَى، وإنه لَيَحْطِمُ مَا تَحْتَهُ

 “Apa menurutmu yang harus kukatakan pada mereka? Demi Allah! Tidak ada di tengah-tengah kalian orang yang lebih memahami syair Arab daripada aku. Tidak juga pengetahuan tentang rajaz dan qashidahnya yang mengungguli diriku. Tapi apa yang diucapkan Muhammad itu tidak serupa dengan ini semua. Juga bukan sihir jin. Demi Allah! Apa yang ia ucapkan (Alquran) itu manis. Memiliki thalawatan (kenikmatan, baik, dan ucapan yang diterima jiwa). Bagian atasnya berbuah, sedang bagian bawahnya begitu subur. Perkataannya begitu tinggi dan tidak ada yang mengunggulinya, serta menghantam apa yang ada dibawahnya.”

Kegagalan Walid tidak menyurutkan kaum Quraisy untuk membungkam da’wah nabi Muhammad SAW. Karenanya mereka menyerahkan proyek tersebbut kepada anaknya Walid yaitu Khalid bin Walid. Khalid merasa tidak lebih cerdas dari nabi Muhammad SAW tetapi karena terlanjur menerima proyek tersebut, dia mengajak Musailamah untuk kolaborasi dan Musalamah pun menyanggupi untuk membuat ayat menandingi al qur’an.

Di antara contoh karya Musailamah adalah tandiingan QS. Al Fiil sebagaimana berikut:

اَلْفِيْلُ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْفِيْلُ * لَهُ زُلُوْمٌ طَوِيْلٌ

Dan Gajah. Tahukan kamu apa itugajah. Ia  memiliki perawakan yang panjang

Khalid membaca ayat-ayat tandingan Musailamah sangat kecewa dan dianggap tidak berbobot dan lebih jauh menstigmanya lebih sesat dari Muhammad.

Ini menandakan keindahan al qur’an tak tertandingi sampai kapanpun. Dan dalam konteks, alqur’an yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunian termasuk Indoesia, di antara keindahan Bahasa al Qur’an bahwa kita yang bukan orang arab merasa meni’mati membaca al Qur’an meskipun sebagian besar bacaannya belum dipahami. Bahkan membacanya berulang kali khatam. Adakah buku yang dibaca berulang-ulang selain al QUr’an ?

Wallhu A’lam

Jakarta, 20 Ramaadhan 1445 H


Jumat, 29 Maret 2024

AL QUR'AN DAN PENETAPAN HUKUM

Sahabat...

Allah menciptakan manusia yang multi kultural  ; keyakinan, warna kulit, Bahasa dan lain sebagainya yang serba berbeda. Manusia esensinya adalah makhluk sosial yang saling memerlukan antara satu dengan lainnya. Interaksinya antar satu individu dengan lainnya memerlukan sistem (tasyri’iperundang-undangan) yang mengatur dan  keadilan di antara mereka.  Untuk mewujudkan tersebut, al Qur’an telah menjelma sejak azalinya sebagai sistem (tasyri’iperundang-undangan), dan al Qur’an telah memulainya dengan pendidikan individu dengan membenamkan konsep tauhid dan membelenggu hawa nafsu dan syahwat yang inheran pada setiap indiividu agar setiap individu menjadi hamba-NYA yang ikhlas. Al-Qur’an telah memuat pokok-pokok akidah, hukum-hukum ibadah, norma-norma keutamaan dan sopan santun, undang-undang hukum ekonomi, politik, sosial dan kemasyarakatan, mengatur kehidupan keluarga dan masyarakat, dan meletakkan dasar-dasar kemanusiaan yang mulia lagi adil.

Maka output pendidikan individu itu melahirkan pribadi muslim dengan akidah yang benar. Maka ini berdampak pada si individu tersebut menerima segala syari’at/ketetapan hukum bagi dirinya  karena adanya keyakinan yang kokok bahwa setiap ibadah yang difardukan berkorelasi lurus dengan kebaikan/kesalehan individu yang menjalar menjadi kebaikan/kesalehan sosial.

Manna’ Khalil Qattan lebih jauh menjelaskan bahwa penunaian ibadah-ibadah fardu ini akan melahirkan tanggung jawab sebagai buah dan hasil pendidikan tersebut. (QS. Al Muddatsir/74 : 38 dan QS. Al Baqarah/2 : 286)

Karenanya al Qur’an tidak bisa disebanding dengan perundang-undangan lainnya, bahkan seringkali upaya diskusi dan sosialisasi atas sebuah rencana perudang-undangan gagal dan batal. Bukankah pernah ada upaya di Amerika pembuatan undang—undang pembatasan minuman keras yang disadarioleh mereka akan bahaya latennya? Namun mereka gagaal dan tetap membolehkan konsumsi kembali minuman keras. Mereka juga melarangan perceraian yang menopang ajaran agamanya, dan pada akhirnya mereka-pun membolehkan perceraian. Di Eropa-pun pernah berkumandangkan pendapat tentang perlunya poligami, sehingga sebagian kaum wanita memproses adanya undang-undang itu karena banyak di antara mereka yang telah menjadi janda tidak dapat menikah lagi, akhirnya timbul permasalahan yang mengancam masyarakat.

Hal-hal tersebut adalah bukti yang jelas atas kegagalan undang-undang dan peraturan buatan manusia, sedangkan Islam sungguh-sungguh telah membuktikan keamanan dan kedamaian serta menghapuskan kejahatan langsung dari sumbernya.

Wallahu A’lam

Jakarta, 19 Ramadhan 1445 H


Kamis, 28 Maret 2024

MU'JIZAT AL QUR'AN

 

Sahabat…

Pernahkan anda menyaksikan sesuatu yang luar biasa?

Kejadian luar biasa sangat mungkin terjadi pada siapapun dan dapat disaksikan oleh siapapun. Bila sesuatu yang luar biasa terjadi pada orang sholeh dinamakan karamah, bila hal tersebut terjadi pada orang yang ingkar kepada Allah SWT disebut istidraj atau ihanah. Sementara bila kejadian luar biasa itu terjadi pada seorang nabi maka disebut dengan mu’jizat.

Mu’jizat sendiri didefinisikan oleh para ulama sebagai sebuah perkara luar biasa yang disertai tantangan yang selamat dari pengigkaran dan muncul pada diri seorang nabi untuk menopang da’wahnya.

أَمْرٌ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ مَقْرُونٌ بِالتَّحَدِّي سَالِمٌ عَنِ الْمُعَارَضَةِ يَظْهَرُعَلَى يَدِ مُدَّعِي النُّبُوَّةِ مُوَافِقًا لِدَعْوَاهُ

Tentu telah sampa kepada kita informasi mu’jizat oleh para nabi dan hamper seluruhnya merupakan mu’jizat indrawi (hissiyah) yang hanya bisa disaksikan secara indrawi oleh masyarakat setempat sepertimu’jizat Nabi Shaleh AS, Nabi Musa AS, Nabi Isa AS, dsb. Hanya al Qur’an yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan mu’jizat rasional (aqliyah). Yaitu mu’jizat yang  tidak hanya bisa disaksikan oleh masyarakat yang se-zaman  Nabi Muhammad SAW bahkan sampai masyarakat akhir zaman. Dan mu’jizat Al Qur’an yang bersifat aqliyah akan lebih dipahami apabila ditopang oleh kemampuan intelektual yang rasional.

Kegagalan masyarakat setempat ketika menyikapi mu’jizat para nabi selain Nabi Muhammad SAW yang bersifat indrawi menyebabkan mereka konsisten ingkar akan kebenaran ajaran agama yang dibawa oleh para nabi. Karenanya seiring dengan sudah mulainya berkembang taraf berfikir masyarakat dan lebih matang di bidang intelektual, maka Allah berikan mu’jizat Al Qura’an yang berisfat aqliyah (rasional) kepada Nabi Muhammad SAW. (QS. Al Isra/17 : 59). Karenanya di antara target mu’jizat al Qur’an adalah membuka hati dan menundukkan akal, sehingga bila keduanya bersinergi maka daya pengaruhnya akan lama dan bertahan.

Maka mu’jizat al Qur’an, sebagaimana disampaikan para ulama, ditinjau dari beberapa aspek :

1. Aspek Kebahasaaan

2. Isyarat Ilmiah

3. Informasi Sejarah

4. Penetapah Hukum

 

Wallahu A’lam

Jakarta, 18 Ramadhan 1445 H

 

Bersambung….

Rabu, 27 Maret 2024

PETUNJUK AL QUR'AN

Sahabat...

Pernahkan anda membaca buku petunjuk?

Seringkali bila kita membeli barang baru, pasti disertai buku petunjuk yang menjadi acuan bagi kita mengoperasikan benda tersebut dan agar terhindar dari kerusakan karena malpraktik atas penggunaan benda tersebut.

Bila benda saja dijaga agar terhindar dari kerusakan, maka manusia pun yang merupakan produk unggul Sang Pencipta pasti menyertakan dengan buku petunjuk agar manusia terhindar dari kerusakan dalam perjalanan hidupnya. Buku petunjuk bagi manusia tidak lain adalah kitab suci Al Qur'an. (QS. Al A'raf/7 : 52, QS. An Nahl/16 : 89, QS. Al Isra/17 : 9)

Umat Islam merupakan ummat terbaik yang terpilih mewarisi kitab suci Al Qur'an (QS. Fathir/35 : 32). Tetapi memang sayangnya pada pelaksanaan pengamalan al qur'an tidak semua ummat Islam pada level yang diharapkan.

Kitab suci al Qur’an merupakan kitab suci yang luar biasa dan merupakan penyempurna dari kitab-kitab suci sebelumnya. Karenanya wajar bila al Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi ummat manusia. Petunjuk al Qur’an seumpama sinar matahari yang terang benderang dan memberikan manfaat bagi  kehidupan alam raya. Seumpama cahaya di malam hari yang sangat dibutuhkan bagi pengembara di malam hari sehingga dia mampu membedakan jalan yang lurus dan berkelok.

Dengan  kata lain, dunia ini penuh dengan kegelapan. Cahayanya adalah al Qur’an. Semua manusia berada dalam kesesatan. Peta petunjuknya  adalah al Qur’an. Sebagaimmana disebutkan dalam hadits qudsi dari sahabat Abu Dzar Al Ghiffari Allah SWT berfirman :

يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ ضَالٌّ اِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ , فَاسْتَهْدُوْنِيْ اُهْدِكُمْ

Artinya : Wahai Hamba.-Ku, kalian semua tersesat, kecuali yang Ku-beri petunjuk . Karena itu mintalah petunjuk kepadaKu, pasti Ku-beri petunjuk.  (HR. Imam Muslim)

Dengan menjadikan al Qur’an sebagai petunjuk maka akan memberikan arah dan pedoman tentang tujuan hidup  yaitu ibadah kepada Allah SWT semata. Itulah sebabnya kita ddiperuntahkan untuk senantiasa membaca, memahami dan mengamalkan al Qur’an.

Mari kita tingkat kualitas dan kuantitas pembelajaran dan bacaan kita pada al Qur’an.

Wallhu A’lam

Jakarta 17 Ramadhan 1445 H

Selasa, 26 Maret 2024

TAUBAT (2)

 

Sahabat...

Seberapa sering anda beristighfar kepada Allah SWT?

Semestinya sesering mungkin kita beristighfar karena dosa-dosa kita yang kian menggunung tak terbilang.

Rasulullah SAW yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT, tidak pernah melewatkan hari-harinya untuk bertaubat seraya memohon ampun dan beristighfar lebih dari seratus kali di setiap harinya.

وَاللهِ إِنِّيْ لَأَسْتَغْفِرُ اللهِ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً

Artinya : “Demi Allah, sesungguhnya saya memohon ampun kepada Allah SWT dan bertaubat dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari)

Bagagaimana dengan kita ? Adakah yang telah menjamin termaafkannya dosa-dosa kita? Begitu sombong dan angkuhnya diri kita ini yang sedikit bahkan tidak memohon ampun kepada Allah SWT. Sekiranya kita menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan kita, mari kita segera memohon ampun dan bertaubat. Allah sangat bergembira menerima taubat hambaNYA bila mereka memohon kepada-NYA melebihi kegembiraan seseorang yang mendapati barangnya yang hilang sebelumnya. Dalam salah satu hadits dari Anas bin Malik RA Rasulullah SAW bersabda :

 للهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضٍ فَلاةٍ ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا ، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطجَعَ في ظِلِّهَا وَقَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إَذْ هُوَ بها قَائِمَةً عِنْدَهُ ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ ، اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدي وَأَنَا رَبُّكَ ، أَخْطَاءَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ  .

Artinya : “Sungguh Allah lebih gembira dengan taubat salah seorng dari kalian tatkala ia bertaubat kepadaNya, dibandingkan dengan kegembiraan seseorang yang berada diatas tunggangannya di suatu tanah yang luas, lalu tunggangannya tersebut  lepas, sedangkan makanan dan minumannya pada tunggangannya tersebut. ia pun putus asa untuk mendapatkan ontanya. Maka ia mendatangi suatu pohon dan berbaring dibawah naungan pohon tersebut dan ia sungguh telah berputus asa.Ditengah keadaan itu, ternyata ontanya telah ada berdiri didekatnya. Segera iapun mengambil tali ontanya seraya berkata lantaran sangat gembira ( “wahai Allah kamu adalah hambaku dan aku adalah Rabb mu) keliru berucap karena terlalu gembira” (HR. Muslim)

Sesunguhnya siapa yang membutuhkan, kita atau Allah? Lalu mengapa kita tidak segera merespon kegembiraan Allah untuk segera betaubat. Jangan putus asa dengan rahmat Allah. Berapapun dosa yang menggunung dan tak terhingga, yuk kita datangi Sang Maha Agung dan Mulia untuk mengampuni dosa-dosa kita. Dalam hadist qudsi yang diriwayatkan sahabat Anas bin Malik Rasyulullah bersabda :

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Artinya : "Allah tabaraka wa ta'ala berfirman: "Wahai anak Adam, tidaklah engkau berdoa kepadaKu dan berharap kepadaKu melainkan Aku ampuni dosa yang ada padamu dan Aku tidak perduli, wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu telah mencapai setinggi langit kemudian engkau meminta ampun kepadaKu niscaya aku akan mengampunimu, dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepadaKu dengan membawa kesalahan kepenuh bumi kemudian engkau menemuiKu dengan tidak mensekutukan sesuatu denganKu niscaya aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi." (HR.Imam Tirmidzi)

Kuy...Gaskeun taubat sekarang

Wallahu A'lam

Jakarta, 16 Ramadhan 1445 H

Senin, 25 Maret 2024

TAUBAT (1)

 

Sahabat....

Adakah manusia yang terlahir dalam keadaaan berdosa?

Tentunya kita menyakini bahwa setiap bayi yang lahir dalam keadaan suci. Justru sebaliknya yang harus dipertanyakan, adakah manusia yang meninggal dunia dalam keadaan suci? Tentunya ada. Tetapi apakah termasuk diri kita? Tentu kita berharap demikian,  setidaknya kita berupaya untuk menyucikan diri. Ini saja sudah diapresiasi oleh Allah SWT. (QS. Al A'la/87 : 14). Usaha atau proses kembali kepada kesucian inilah yang disebut dengan taubat sebagaimana firman Allah dalam QS. An Nur/24 : 31 dan QS. At Tahrim/66 : 8

Di antara ni'mat yang besar yang Allah berikan kepada hamba-hambaNYA yaitu dijadikannya taubat terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin bertaubat dan dijadikan sebagai cahaya fajar yang menjadi penerang jalan bagi siapa  saja yang ingin kembali kepadaNYA dengan penuh hati yang membuncah, air mata yang tumpah, tertunduk wajah, seraya leher terbelunggu dengan rendah karena dosa.

Dalam hadits dari Abu Musa al Asy'ari Rasulullah SAW memberikan gambaran keluasan rahmat Allah SWT kepada hamba-hambanya seraya bersabda :

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَبْسُطُ يَدَهُ بِاَّلليْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيءَ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيءَ الَّليْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Artinya : “Sesungguhnya Allah SWT membuka lebar tangannya pada malam hari untuk menerima taubat yang berdosa di siang hari, dan membuka lebar tangannya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa di malam hari sampai terbitnya matahari dari maghribnya.”  (HR.  Muslim)

Bagi orang yang ingin menyucikan dirinya, maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan yang tidak akan disia-siakan untuk bertaubat dan membuat komitmen dan perjanjian baru atas perjalanan hidup ke depannya.  Mereka tidak terpedaya sehingga berlalunya bulan Ramadhan tanpa terampuninya dosa-dosanya. Dari sahabat jabir bin Samurah, Rasulullah SAW bersabda :

أَتَانِيَ جِبْرِيْلُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ مَنْ أَدْرَكَ شَهْرَ رَمَضَانَ فَمَاتَ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَأُدْخِلَ النَّارَ فَأَبْعَدَهُ اللهُ. قُلَ: آمِيْنَ. فَقُلْتُ : آمِيْنَ

Artinya : Aku didatangi  malaikat Jibril AS, lalu dia berkata : "Wahai Muhammad barang siapa yang mendapati Ramadhan,  kemudian dia mati,sedangkan dia  tidak diampuni,lalu dimasukkan  ke neraka,maka telah jauhlah (rahmat) Allah darinya,maka  ucapkanlah; 'Aamin'! maka aku katakan : Amiin". (HR. Ibnu Hibban dan Thabrani)

Wallahu A'lam

Jakarta, 15 Ramadhan 1445 H

Minggu, 24 Maret 2024

LEVEL PUASA (3)

 Sahabat…

Kita sambung kembali kriteria puasa spesial (khowas)

Kelima, ketika berbuka tidak berlebihan dalam meng konsumsi makanan halal, yang berakibat seluruh rongga dalam lambung menjadi penuh. Imam Tirmidzi merwayatkan peringaatan Rasulullah SAW yang bersabda:

 سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَامَلَأَ اَدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا ِمنْ بَطْنِهِ

Artinya : “Tidaklah anak Adam memenuhi suatu tempat yang lebih buruk daripada perutnya.”

Bagaimana mungkin puasa mampu mengalahkan musuh Allah (setan) dan menundukkan syahwat jika berbukanya itu hanya berfungsi sebagai pindahnya waktu makan dari siang hari menjadi malam hari ? Bahkan kuantitas dan kualitasya lebih besar dibandingkan ketika tidak berpuasa. Pola makan bagi orang yang berpuasa seperti itu akhirnya menjadi tradisi menyajikan makanan yang lebih enak dan bergizi pada bulan Ramadan. Perpindahan waktu makan seperti ini secara fungsional mengabaikan tujuan puasa. Sebab tujuan berpuasa adalah mengistirahatkan perut dan menundukkan hawa nafsu untuk memperkuat diri dalam melakukan ibadah dan memperkuat ketakwaan. Perut dan lambung yang -karena berpuasa- itu kosong pada siang hari, jika malam harinya diisi dengan makanan yang bergizi dan lezat, itu akan berakibat kuat dan bergeloranya nafsu yang tentu akan mendorong perbuatan dosa. Andaikan perut dan lambung itu diisi dengan makanan yang relatif minimal sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan, niscaya gejolak syahwat itu akan teredam dan lebih tenang. Maka di antara hikmah dan tujuan puasa tidak akan bisa dicapai, kecuali dengan cara meminimalisir konsumsi makanan. 

Keenam, Pasca berbuka puasa hendaknya hatinya berharap-harap cemas (antara raja’ dan khauf), sebab tidak ada yang tahu apakah puasanya itu diterima, sehingga ia naik derajat menjadi manusia yang didekatkan pada Allah (al-muqarrabin) atau puasanya ditolak, sehingga ia turun derajat menjadi manusia yang dimurkai-Nya?. Perasaan seperti ini seharusnya muncul pasca melakukan setiap ibadah. 

Sebagian ulama menyatakan; : “Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi mereka sebenarnya berbuka”,  yaitu orang yang lapar dan haus namun anggota badannya dibiarkan bebas untuk melakukan perbuatan dosa. Dan “banyak orang yang sepertinya berbuka namun mereka berpuasa”. Yaitu orang yang menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan dosa namun mereka tetap makan dan minum. 

Dalam konteks pengertian puasa seperti di atas Rasulullah bersabda :

اَلصَّوْمُ اَمَانَةٌ فَلْيَحْفَظْ أَحَدُكُمْ أَمَانَتَهُ

Artinya : “Puasa adalah amanat, karena itu salah seorang di antara Anda hendaknya menjaga amanat puasa tersebut” (HR. al-Kharaithi) 

Wallahu A’lam

Jakarta, 14 Ramadhan 1445 H


Sabtu, 23 Maret 2024

LEVEL PUASA (2)

 

Sahabat…

Kita kita lanjutkan kriteria puasa istimewa

Ketiga, menahan telinga untuk mendengarkan sesuatu yang tidak disukai (makruh), karena sesuatu yang haram diucapkan itu juga haram untuk didengar. Karena itu Allah menyamakan posisi dosa orang yang mendengarkan sesuatu yang makruh dengan orang yang memakan makanan yang diharamkan. Allah berfirman dalam QS. Al Maidah/5: 4, bahkan di tempat lain Ia juga berfirman : Allah mengecam para ulama dan pendeta Yahudi yang saat itu tidak melarang dan membiarkan kebohongan merajalela. (QS. Al Maidah/5 : 63). Dan lebih dipertegas lagi bahwa diam sambil mendengarkan dan membiarkan gunjingan (ghibah) itu merebak juga haram.

انَّكُمْ اِذًا مِثْلُهُمْ

Artinya : “Jika demikian, Anda juga sama dengan mereka …” (QS. An Nisa/4: 140).

Sebab itu Rasul bersabda:

الْمُغْتَابُ وَ الْمُسْتَمِعُ شَارِكَانِ فِى الْاِثْمِ

Artinya : “Orang yang menggunjing dan yang mendengarkan sama-sama berdosa”.

Keempat, menahan semua anggota badan dari perbuatan dosa, dengan cara menahan tangan dan kaki untuk melangkah ke sesuatu yang dibenci Allah, serta menahan perut dari makanan syubhat (tidak jelas halal haramnya) ketika berbuka. Puasa tidak ada artinya jika pada siang hari ia mengekang diri dari makanan yang halal, tetapi ia berbuka dengan makanan yang haram. Orang yang berpuasa seperti itu, ibarat orang yang membangun sebuah istana yang megah kemudian ia menghancurkan kota tempat istana itu berada. Makanan yang halal itu bisa membahayakan jika dikonsumsi secara berlebihan. Jadi, keharamannya bukan karena jenis makanannya tetapi karena berlebihannya itu. Sedang tujuan puasa adalah untuk meminimalkan konsumsi makanan yang halal. Obat yang secara fungsional bisa menyembuhkan, tetapi jika dikonsumsi berlebihan akan menjadi racun. Tak ubahnya seperti seseorang yang tidak mau mengkonsumsi obat secara berlebihan kemudian ia beralih memilih racun. Racun tak ubahnya sepereti racun yang membahayakan kehidupan manusia, sedang makanan halal jika dikonsumsi sesuai kebutuhan akan menjadi obat. Rasullah bersabda:

كَمْ  مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صَوْمِهِ اِلَّا الْجُوْعِ وَ اْلعَطَشِ

 Artinya :“Betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan haus”. (HR. al-Nasai dan Ibnu Majah)

Wallahu A'lam

Jakarta, 13 Ramadhan 1445 H

LEVEL PUASA

Sahabat….

Pastinya sahabat selalu ingin memperbaiki dan meningkatan kualitas aktifitasnya bukan ?

Sejatinya kita menyadari bahwa perbaikaan dan peningkatan dari waktu ke waktu merupakan prestasi dan tidak ada yang berkeinginan stagnan dan statis.

Termasuk ibadah puasa yang sudah kita jalani selama 10 hari ini  mestinya ada perbaikan dan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.

Pada kualitas mana kita berpuasa pada tahun ini? Ada baiknya kita merefresh tentang pembagian puasa oleh Imam Ghozali, yaitu : Puasa umum (awam) lebih kepada puasa lahiriyah yaitu menahan perut, dan kemaluan dari semua yang diinginkan. Puasa istimewa (khawash)  adalah menahan pendengaran, pengelihatan, lidah, tangan, kaki, dan anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa. Dan puasa paling istimewa (khawashul khawash) yaitu puasa hati dari keinginan yang hina, pikiran duniawi, dan mengekang hati untuk berfikir dari segala sesuatu selain Allah SWT secara total. Tingkatan puasa yang ketiga ini akan batal dengan memikirkan segala sesuatu selain Allah, baik itu memikirkan hari akhir maupun memikirkan urusan dunia. Namun berpikir tentang urusan dunia yang bertujuan untuk menegakkan agama Allah tidak termasuk memikirkan dunia.

Mungkin kebanyakan kita masih pada puasa umum/awam dan rasanya tidak banyak yang sudah pada level puasa paling istimewa (khawasil khowas), karena tingkatan puasa seperti ini adalah cara puasa para Nabi, orang-orang yang jujur (shiddiqin), dan orang-orang yang dekat pada Allah (muqarrabin). Paling tidak kita berupaya dan konsentrasi meng-upgrade di puasa kali ini ke level puasa puasa istimewa (khowas).

Puasa Istimewa  adalah puasanya orang-orang saleh, yaitu dengan cara menahan semua anggota badan dari perbuatan dosa. Kesempurnaan puasa pada tingkatan ini harus melakukan enam hal:

Pertama, menundukkan dan menahan pandangan pada semua hal yang tercela dan dibenci. Imam Anas meriwayatkan sabda Rasulullah SAW :

اَلنَّظْرَةُ سَهْم مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ اِبْلِيْسَ لَعَنَهُ اللهُ فَمَنْ تَرَكَهَا خَوْفًا مِنَ اللهِ آتَاهُ اللهُ عَزَّوَ جَلَّ اِيْمَانًا يَجِدُ حَلَاوَتَهُ

Artinya : “Sebuah pandangan adalah satu panah beracun di antara panah-panah Iblis yang dilaknat oleh Allah. Barang siapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, niscaya Allah akan menganugrahkan manisnya iman yang akan dirasakan nikmatnya dalam hati”. (HR. Hakim)

Kedua, menjaga lisan dari perkataan yang hina, sia-sia, dusta, dsb. Dalam kontek kekinian termasuk hate comment, bullying dan gossip di medsos. Selayaknya lisan diam dan hanya sibuk berzikir kepada Allah, tadarus al Qur’an. Menjaga dan mengaktifkan lisan seperti inilah yang disebut dengan puasa lisan. Dalam hadits riwayat imam Bukhari Rasulullah SAW mengingatkan :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ، وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ  

Artinya: “Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dan perilaku kotor, maka tidak ada kepentingan bagi Allah atas amalnya meninggalkan makanan atau minuman.” (HR Al-Bukhari).

Lisan yang tidak terjaga dalam betuk apapun berakibat pada tidak bernilainya puasa seseorang. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ghibah dan sejenisnya dapat membatalkan puasa yang wajib di-qadha.

Wallahu A’lam

Jakarta, 11 Ramadhan 1445 H


Jumat, 22 Maret 2024

DIMENSI SOSIAL IBADAH PUASA

Sahabat…

Adakah di antara kita yang bisa hidup sendirian tanpa membutuhkan bantuan yang lain ?

Rasanya tidak mungkin, karena memang manusia adalah makhluk sosial yang saling bergantung antara satu dengan lainnya. Maka agama islam yang turun kepada umat manusia menjelma sebagai rahmatan lil ‘alaimin menunjukkan bahwasannya agama islam tidak hanya ingin membangun kesalehan personal ummat Islam tetapi juga kesalehan sosial. Termasuk aktifitas ibadah-pun, semisal puasa, yang lepas kesalehan sosial. Karena itu ibadah puasa tidak hanya berdimensi vertical (hablum minallah) tetapi juga memlikidimensi horisontl (hablum minannas).

Derajat taqwa yang menjadi tujuan utama puasa (QS. Al Baqarah/2 : 183) memiliki konsekuensi soaial, di antaranya :

Pertama, Social Solidarity. sebagai orang yang ingin mencapai derajat takwa, maka mau tidak mau orang yang berpuasa harus menginfakkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit.Jika kita mengamati fenomena puasa dari tahun ke tahun, kita akan sadar bahwa saat ini gerakan memberikan takjil gratis semakin membudaya di masyarakat bahkan beberapa tahun yang lalu ada aktifitas anak-anak remaja yang mereka sebut sahur on the road, kegiatan membagi makanan sahur

Kedua, Self Control. sebagai orang yang ingin mencapai derajat takwa, maka suka tidak suka orang yang berpuasa harus bisa menahan amarahnya. Tantangan terberat bagi orang yang berpuasa sebenarnya bukanlah menahan lapar dan dahaga, melainkan mengendalikan emosinya. Orang-orang yang berpuasa menyadari bahwa puasanya tidak akan bernilai apa-apa jika ia mengumbar emosinya.

Ketiga,Social Care, sebagai orang yang ingin mencapai derajat takwa, maka mereka berupaya menghindari dari segala bentuk perbuatan yang dapat merugikan orang lain.

Keempat  Respect sebagai orang yang ingin mencapai derajat takwa, maka harus dapat meningkatkan penghormatan terhadap sesama dalam bentuk bisa memaafkan kesalahan orang lain. Ini adalah konsekuensi yang paling logis dari pengendalian emosi. Ketika amarah dilarang diekspresikan maka memaafkan menjadi jalan keluar yang paling sehat. Karena menyimpannya sebagai dendam hanya akan menimbulkan gangguan fisik dan psikologis. Sebaliknya dengan memaafkan akan menurunkan strees dan menumbuhkan empati. Dan, pemaafan selama sebulan puasa dipertegas lagi dengan tradisi bermaaf-maafan ketika Idul Fitri.

Waalahu A’lam

Jakarta, 11 Ramadhan 1445 H

Rabu, 20 Maret 2024

DO'A YANG TIDAK DITOLAK

 

Sahabat...

Pernahkah anda berdo'a ? tentunya pernah dan bahkan seringkali kita berdo'a. Dan setiap kali kita berdo'a, do'a kita diterima dan tidak ditolak oleh Allah SWT.

Memang hakekatnya semua do'a diterima dan tidak ada yang ditolak. Hanya cara, bentuk dan waktu atas diterimanya do'a berdasarkan kehendak Allah bukan pada kehendak dan keinginan kita.

 Di antara waktu-waktu mustajab do'a adalah saat kita menjalankan ibadah puasa. orang yang berpuasa do'anya tidak akan ditolak. Sebagai Rasulullah SAW bersabda :

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : اَلصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَاْلإِمَامُ اْلعَادِلُ، وَدَعْوَةُ اْلمَظْلُوْمِ

Artinya : "Tiga do'a yang tidak ditolah ; do'anya orang yang berpuasa sampai berbuka, do'annya imam yang adil dan do'anya orang yang didzolimi." (HR. Tirmidzi)

 Kalimat “orang yang berpuasa sampai ia berbuka” meliputi orang-orang yang berpuasa sunnah maupun wajib, khususnya puasa di bulan Ramadhan. Terkabulnya doa orang yang berpuasa disebabkan kuatnya unsur kedekatan diri kepada Allah SWT, mengosongkan jiwa dari perkara mubah dan godaan syahwat.

Ibadah “lapar” tersebut menghasilkan kolaborasi kuat antara nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan sehingga mereka terjaga dari perbuatan dosa dan maksiat.

Oleh karena itu, orang yang berpuasa hendaklah memanfaatkan moment berpuasa untuk memperbanyak do’a dengan penuh keikhlasan dan ketundukan kepada Allah SWT dengan keyakinan terkabulnya doa. Kalimat “sampai ia berbuka” menunjukkan masa terkabulnya doa tidak terikat dengan waktu-waktu tertentu, tetapi detik-detik waktu sepanjang berpuasa sejak terbit fajar sampai matahari terbenam merupakan waktu mustajab.

Dalam sebuah hadis dari Salman al-Farisi, Rasulullah SAW bersabda ;

 لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ

Artinya : “Tidak ada yang dapat menolak qadha' kecuali doa, dan tidak ada yang dapat menambah (kualitas) usia kecuali ketaatan.” (HR Imam Tirmidzi)

 Ramadan adalah momentum umat Islam berdo’a. Berdoalah selepas shalat, berdoalah selepas tilawah, berdoalah dalam setiap munajat di malam hari, berdoalah bersama keluarga setiap berbuka puasa dan sahur.

 Karena Allah SWT memiliki sifat al Hayyu (الحَيٌّ) yang artinya malu, dimana Dia merasa malu jika hamba-Nya mengangkat kedua tangan seraya berdoa kepada-Nya namun Dia tidak mengabulkannya.

Dalam sebuah hadits dari Salman al-Farisi, Rasulullah SAW bersabda  :

 اِنَّ اللهَ حَيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِ اِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ  اِلَيْه يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

Artinya : "Sesungguhnya Allah Maha Pemalu. Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya (yang berdoa dengan) mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian Dia menolaknya dengan hampa.” (HR. Imam Ibnu Majah)

 Wallahu A’lam

Jakarta, 10 Ramadhan 1445 H

KEYAKINAN

13 Ramadhan 1446 H   Pada Kisah yang ke-25 dalam kitab  An Nawadir  Imam Qalyubi mengisahkan bahwa ada sekawanan penjahat yang tengah me...